Oleh Prof Dr H Fauzul Iman MA
Al-Ghazali menyebut moral Islam sebagai tingkah laku seseorang yang muncul secara otomatis berdasarkan kepatuhan dan kepasrahan pada pesan (ketentuan) Allah Yang Mahauniversal. Seorang Muslim yang bersikap demikian akan mengarahkan pandangan hidupnya pada spektrum yang luas, tidak berpandangan sempit ataupun eksklusif. Ia dapat menerima realitas sosial yang beragam dan memupuk pergaulan dengan berbagai kalangan tanpa membatasi diri dengan sekat agama, kultur, dan fanatisme kelompok.
Inilah yang dimaksud dengan firman Allah SWT, ''Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.'' (QS Al-Hujurat [49]: 13).
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa moral Islam adalah takwa itu sendiri. Artinya dengan kekuatan takwanya, seorang Muslim mampu menanamkan moral Islam di tengah-tengah perbedaan sosial dan budaya masyarakat secara toleran, demokratis, terbuka, dan tanpa mengklaim dirinya paling benar.
Ulama Sufi membagi moral ke dalam tiga jenis, yaitu moral agama, moral undang-undang, dan moral lingkungan sosial. Dari ketiga jenis moral tersebut, yang paling dominan adalah moral agama dan menjadi sumber acuan bagi kedua moral yang lainnya. Itulah sebabnya, ajaran Islam selalu menekankan kepada semua umatnya agar senantiasa berpegang teguh pada moral Islam.
Sayangnya, fakta yang terjadi justru sebaliknya. Banyak orang yang tunduk pada selain moral agama. Dari kalangan penguasa, pengusaha, dan politisi, misalnya, masih banyak yang tunduk pada tatanan sistem politik yang hegemonik demi keuntungan pribadi, ketimbang membela rakyat dan masyarakat lemah dari ketertindasan.
Kasus lainnya, ada seorang agamawan yang dahulunya menjadi panutan masyarakat, pribadinya baik, tutur katanya lembut, sikapnya sopan, dan tidak pernah lupa mengenakan simbol-simbol keagamaan, kini justru berubah. Ia tenggelam dalam dunia kekerasan dan dunia kemewahan setelah menceburkan diri dalam lingkungan pergaulan yang hedonis.
Sebagai bangsa yang religius, sepatutnya kita memperkuat moral Islam yang bersifat universal dengan tetap melestarikan moral sosial dan lingkungan yang substansinya sejalan dengan moral Islam. Dengan cara demikian, kita berharap semua bentuk perilaku yang menodai akhlak dan nilai-nilai luhur agama dan bangsa dapat dieliminir. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar